Kamis, 25 November 2010
Selatan Jawa ; Berlian yang belum diasah
Daerah pesisir selatan Jawa adalah sebuah daerah yang diberikan tuhan dgn Panorama yg amat indah. Banyaknya ragam topografi yang terdapat didaerah tersebut menyebabkan banyak ragam tempat wisata yang dapat dijadikan tujuan para turis. Dari sekitar pelabuhan ratu dengan hamparan pasir putih yang luas hingga tebing-tebing terjal di Kab. Gunung kidul dan sekitarnya, serta air terjun di daerah jampang sukabumi dan aliran sungai di tebing green canyon pangandaran.
Kurangnya perhatian dari pemerintah pusat dan daerah menyebabkan pengembangan daerah-daerah tersebut menjadi kurang berkembang dan kurang dikenal oleh masyarakat luas. Banyaknya jumlah penginapan dan transportasi untuk menuju ke tempat-tempat wisata tersebut menyebabkan para turis terkadang menjadi alasan kenapa turis membatalkan rencana mengunjungi daerah tersebut.
Rabu, 24 November 2010
Sejarah marga Wunga sura Bliku Lenge
Marga/suku Wunga Sura Bliku Lenge atau yang lebih sering disebut dengan Marga “ Sura B “ adalah sebuah marga ( keluarga ) yang tinggal dan berasal dari desa Pasir putih ( Mingar ), kecamatan Nagawutun, kabupaten Lembata, NTT. Sama seperti sebagian besar marga yang terdapat di desa Mingar, Sura B juga berasal dari kampung LepanBata.
Keberadaan marga Sura B di mingar diawali dengan adanya musibah air bah yang melanda kampung Lepanbata sehingga semua penduduknya keluar dari kampung tersebut untuk mengungsi.
Pada awal bencana tersebut marga sura B belum berniat untuk turut pergi mengungsi, hal ini dikarenakan keyakinan mereka bahwa air tersebut akan segera surut. namun seiring dengan makin tingginya air menyebabkan para wanita mendesak suami dan keluarga mereka untuk turut mengungsi seperti marga-marga yang lain. Seiring dengan naiknya ketinggian air bah yang telah mendekati lantai rumah dan terus meningkat ( pada saat itu rumah tradisional orang Lepan bata berupa rumah panggung ), kepala marga / suku mengumpulkan semua anggota keluarga tanpa terkecuali untuk berdiskusi tentang upaya menyelamatkan diri dari bencana tersebut, diskusi diadakan setelah acara makan malam dipimpin langsung oleh kepala suku. dari diskusi tersebut disepakati bahwa pada pagi hari sebelum memulai perjalanan :
- Kaum lelaki pergi melaut untuk mengambil Blutu (keramba) dan memancing ikan untuk bekal di perjalanan.
- Kaum Wanita mengemaskan semua peralatan yang akan dipergunakan diperjalanan maupun di tempat nanti mereka akan menetap. Adapun alat-alat yang mereka bawa antara lain peralatan untuk bercocok tanam ( parang, tofa, tongkat linggis ), alat tenun ( Suri, Sligu, pola, benang, dan kapas ), alat perang ( busur panah, bedil, tombak, keris dll), serta kerajinan tangan yang berupa anyaman bambu ( Blutu/naming ) daun lontar ( Kleka, Kbala, dan ferololo )
Dikarenakan banyak jumlah keluarga maka diputuskan menggunakan dua buah perahu. setelah makan malam mereka mulai naik ke atas perahu dan mulai mendayung perahu kearah barat. Setelah beberapa saat persediaan air mulai habis sehingga menyebabkan mereka mendarat di suatu tempat yang bernama Wutun lolo, lalu mereka pergi mengambil air dari suatu sumber mata air yang biasa disebut dengan Buka barek. Selama beberapa saat mereka tinggal di suatu tempat bernama Minga lolo yang terletak dibelakang gunung Labalekang ( suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Lamalera ). Dikarenakan mata air tersebut mulai mongering mereka kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka kearah barat hingga suatu hari mereka sampai di suatu teluk yang bernama Watan lolo dan tinggal disana selama beberapa saat. tempat tinggal mereka bernama Mingar Lewu Ala dengan sebuah mata ait yang bernama Klobe, setelah beberapa saat mereka kembali melanjutkan perjalanan. Pada saat sampai di suatu tempat yang bernama Wato Kboteku, mereka mendarat dan melepas Sawu ( Jangkar ) untuk beristirahat dan berdiskusi , kepala suku memulai diskusi dengan berbicara “ Bapa mama, di Lepan bata tentu airnya sudah kering, Jadi bagaimana pendapat kalian ?”. ada orang tua yang berkata bahwa “ kalau kita sudah keluar dari Lepan bata maka kita tidak bisa kembali masuk ke sana. kalau kita kembali ke sana, bisa juga akan mati”. dan yang lain juga berkata “ lebih baik kita jalan terus !”. karena adanya perbedaan pendapat tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk membagi dua rombongan. kepala suku berkata kepada seluruh anggota marga ” kita sekarang ada dua buah perahu jadi yang mau meneruskan perjalanan satu perahu dan yang mau pulang ke Lepan bata satu perahu. ”
Pada saat akan berpisah kedua rombongan tersebut saling berpesan, pesan anggota rombongan yang akan pulang ke Lepan bata “ kalau kalian jalan-jalan dan menemukan mata air yang baik dan tanah yang baik untuk kita tinggal, tolong beritakan kami supaya kami bisa ikut.” demikian juga dengan rombongan mereka yang akan meneruskan perjalanan juga berpesan “ kalau kalian pulang dan mendapati air sudah kering, tolong beriathu kami agar kami juga bisa pulang.” Setelah sore kedua perahu mulai mengangkat sauh dan memulai perjalanan masing-masing.
Rombongan yang kembali ke Lepan bata akhirnya sampai pada suatu tempat yang berupa sebuah batu karang besar yang menonjol dan memanjang ke laut ( Bnebog ), mereka memutuskan untuk mendarat dan beristirahat di sana. Pada pagi harinya mereka kedatangan dua orang laki-laki yang berasal dari gunung dan hendak pergi memancing di laut, kedua laki-laki tersebut mendekati perahu dan menanyakan asal mereka. Mereka kemudian menceritakan tentang perjalanan mereka. kemudian kedua orang tersebut berpesan “ tunggu kami di sini sampai kami pulang dari laut.” kedua orang tadi bernama Liat Mitem dan Sira demo dari suku Ata Kabelen. Pada siang hari kedua orang yang tadi pergi memancing telah kembali dari melaut. keduanya mendekati perahu dan berpesan “ tunggulah kami di sini jangan ke mana-mana, sebentar lagi kami akan kembali.” Baru pada sore hari Liat mitem dan Sira demo kembali disertai dengan banyak orang. para tetua adat marga Sura B berbicara dengan orang banyak tersebut dan menghasilkan keputusan bahwa mereka akan tinggal bersama dengan orang banyak tersebut. Seluruh anggota keluarga Sura B pergi mengikuti mereka ke gunung dengan membawa serta perahu mereka. setibanya mereka disana ternyata tempat tersebut merupakan sebuah kampung dan telah dihuni oleh banyak orang.
Untuk tempat tinggal dan bercocok tanam keluarga Sura B diberikan tanah, untuk membangun sebuah rumah keluarga Sura B menggunakan badan perahu yang mereka bawa untuk dijadikan sebagai atap dengan cara membalikan posisi badan perahu. hal tersebut dilakukan agar setiap generasi dari marga Sura B (Wunga Sura Bliku Lenge ) selalu mengingat asal mereka Lepan bata, hingga saat ini marga Sura B memiliki tradisi setiap membuat sebuah perahu harus diberi nama USUL TITE LEPAN HAU ASAL LAU BATAH DAI. Setelah selesai rumah tersebut diberi nama “ RUMAH ADAT LAMA SOAF “ ( Rumah adat Wunga Sura Bliku Lenge ). selain rumah dibangun juga sebuah gubuk kecil yang diberi nama Snaja Saat ini rumah adapt Lama soaf berada di Kampung Lama yang terletak di bukit di belakang desa Pasir putih (Mingar ).
Tinjauan Umum Jambu Mete
JAMBU METE
Gambaran Umum Jambu Mete ( Anacardium occidentale Linn)
Jambu mete berasal dari daratan Amerika Latin/Selatan, atau lebih tepatnya negara Brasil. Penyebaran jambu mete diawali dengan kedatangan bangsa Portugis di daratan Amerika Selatan pada abad keenambelas yang kemudian membawa tanaman jambu mete ke daerah-daerah koloninya dan daerah persinggahan seperti Mozambique dan India. Pada awal penyebarannya, oleh bangsa Portugis jambu mete hanya digunakan sebagai tanaman penahan erosi pantai. Pada abad kesembilan belas penyebaran tanaman jambu mete telah mencapai Negara-negara di daratan Afrika, Asia, dan Amerika. Sama seperti negara-negara lain di daratan Asia, di Indonesia jambu mete masuk juga dibawa oleh para pelaut portugis yang sedang mencari rempah-rempah di Nusantara ( Muljoharjo et al, 1978 ).
Jambu mete memiliki nama latin Anacardium occidentale, akan tetapi tiap negara dan daerah memiliki sebutan yang berbeda-beda untuk menyebut tanaman ini bahkan memiliki tradisi yang mempergunakan kacang mete. Di Mozambique, suku Maconde mengenal kacang mete dengan nama kacang-kacangan setan. Kacang mete juga dipergunakan pada upacara pernikahan penduduknya, karena menyimbolkan kesuburan dan kekayaan. Dibelahan dunia lain kacang mete dikenal dengan nama : bangsa Portugis mengenalnya dengan namacaju atau cajueiro, bangsa Perancis menyebut Acajou, anacardier atau noix de cajou, Spanyol disebut Maranon atau Nuez de maranon, jerman menyebut acajuban dan bangsa belanda menyebut acajou, sedangkan bangsa Hindustan menyebut cadju, Swahili mengenal dengan sebutan mkanju, Somalia dengan nama bibbo. Di Indonesia sendiri jambu mete dikenal dengan nama yang berbeda-beda untuk tiap daerahnya. Misalnya jambu erang (Minangkabau), jambu monyet/mede (Jawa), jambu dwipa/jipang (Bali), jambu dipa (Banjarmasin), Jambu dare/masong (Makasar), buah jaki ( Ternate dan Manado), boa frangsi (Maluku), buah monyet (Timor) ( Andrighetti et al, 1989 dan Cahyono, 2001 dalam Lukita, 2004 ).
Sekitar 60 % dari bagian tanaman jambu mete ternyata telah dikonsumsi oleh manusia dalam bentuk panganan dan 40 % sisanya dimanfaatkan dalam bentuk obat – obatan, kosmetik serta bahan-bahan industri lainnya. Tanaman ini juga termasuk kedalam tanaman obat yang termasuk kedalam daftar prioritas WHO mengenai obat-obatan yang paling digunakan, tercatat masyarakat di 23 negara telah dan sering memanfaatkan bagian dari tanaman jambu mete sebagai obat tradisional. Dewasa ini terdapat penelitian yang memperkirakan bahwa jambu mete dapat dijadikan sebagai obat pengontrol pusat otak yang terganggu ( Rinrin, 2008 ).
Pada awalnya di Indonesia, jambu mete hanya sebagai penghijauan dan tanaman konservasi lahan – lahan kritis. Sedangkan pengembangan secara luas baru dilaksanakan pada tahun 1990/1991 melalui program Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) dengan lokasi di kawasan timur Indonesia, wilayah terisolir dan kantong-kantong kemiskinan. Sehingga kacang dari biji mete yang dihasilkan oleh tanaman ini kurang mendapatkan perhatian khusus dan biasanya hanya dijadikan sebagai pangan ternak. Namun baru pada tahun 1970-an seorang misionaris Belgia bernama Pastur Ka Theo mengenalkan kepada masyarakat pulau Muna – Sulawesi Tenggara tentang manfaat lain dari jambu mete dan cara pengolahannya. ( Muljoharjo et al, 1978 ). Rasa kacang mete yang gurih dan renyah menyebabkannya cocok untuk dijadikan sebagai makanan kecil ( cemilan), seperti : produk coklat, produk bakery, produk es krim dan sebagainya bahkan di beberapa daerah mempergunakan kacang mete sebagai bahan campuran untuk masakan tradisional mereka. Selain rasanya yang lezat, kandungan lemaknya rendah yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi kacang mete dibandingkan produk nabati lainnya. Hal ini dikarenakan banyaknya kandungan lemak tidak jenuh yang menyebabkan kacang mete dapat menekan terjadinya resiko penyakit jantung, stroke, dan gangguan kardiovaskular lainnya. Bahkan saat ini setiap perayaan hari-hari besar, kacang mete merupakan sajian favorit yang selalu tersedia. Selain kacangnya, bagian lain tanaman jambu mete dapat dimanfaatkan. Seperti buahnya untuk dibuat manisan, selai, buah kalengan, sari buah atau anggur mete (Wine), kulit kayu dipergunakan untuk bahan tinta, bahan pewarna tekstil dan obat kumur, akar juga dimanfaatkan obat cuci perut, daunnya untuk lalap atau obat luka bakar khususnya daerah Jawa barat, sedangkan getahnya dipergunakan sebagai perekat buku yang cukup baik.
Pada awal tahun 1994 luas tanam jambu mete Indonesia baru mencapai 418,80 ha dengan tingkat produksi jambu mete Indonesia yang hanya sebesar 300 kg gelondong/ha, jauh dibawah tingkat produksi jambu mete India yang dapat mencapai 600 kg gelondong/ha ( Saragih & Yadi, 1994).
Rendahnya produktivitas tanaman jambu mete Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
(1) Pengembangannya dilakukan dengan biji, sehingga memerlukan waktu yang lama dalam pertumbuhannya
(2) Pembukaan lahan tanam yang masih terbatas.
(3) Kurang informasi dan keterampilan yang dimiliki petani dalam memelihara/budidaya dan proses pengolahan jambu mete setelah panen.
Industri pengolahan kacang mete India yang telah maju dan modern menyebabkan mereka mampu menghasilkan kacang mete dengan kualitas baik yang sesuai dengan permintaan pasar dunia. Dominasi India di pasar mete dunia sangat tampak pada volume ekspor Indonesia sebesar 25.075 ton atau 97,66% ke India dan sisanya diekspor ke USA, Taiwan, Selandia Baru, Hongkong, dan Emirat Arab.
Saat ini dominasi Ekspor jambu mete India mulai tersaingi oleh jumlah ekspor Vietnam yang tingkat produksinya sangat luar biasa jumlahnya, peningkatan ini cukup mengejutkan karena Vietnam pada tahun 1980 belum memiliki banyak lahan tanam jambu mete. Peningkatan ini membuktikan bahwa apabila jambu mete mendapatkan perhatian yang lebih intens maka akan dapat diperoleh hasil yang lebih baik dari segi ekonomi.
Tabel 1. Sepuluh Negara Penghasil Terbesar Kacang Mete tahun 2005
NEGARA | Nilai ( $ 1000 ) | Produksi ( Ton ) |
543,364 | 827,000 | |
302,234 | 460,000 | |
165,091 | 251,268 | |
139,947 | 213,000 | |
80,158 | 122,000 | |
65,703 | 100,000 | |
59,133 | 90,000 | |
53,219 | 81,000 | |
38,108 | 58,000 | |
26,281 | 40,000 |
Sumber : Food And Agricultural Organization: Economic And Social Department: The Statistical Division
( dalam www.wikipedia.com/cashew )
Untuk mengembangkan komoditi jambu mete, pemerintah telah mencoba melakukan beberapa cara, diantaranya dengan cara membagikan bibit jambu mete varietas unggul serta menganjurkan kepada para petani didaerah dengan keadaan tanah yang kurang baik untuk komoditi lain agar menanam jambu mete.
Pada tahun 2006 areal tanam jambu mete Indonesia telah mencapai luas 595.111 ha dengan jumlah produksi gelondong mete sebesar 6.500 ton yang tersebar di seluruh nusantara, yakni Sumatera ( 0,1 %), Jawa (19,7 %), Nusa Tenggara (36,5%), Kalimantan (0,2%), Sulawesi (39,9%).
Daerah yang menjadi sentral penanaman jambu mete umumnya merupakan daerah dengan tingkat curah hujan rendah serta memiliki daerah perbukitan atau daerah kering. Seperti halnya propinsi Jawa Tengah yang menjadi sentral penanaman adalah kabupaten Wonogiri, yang memiliki kondisi tanah yang cukup kering.
Tabel 2. Beberapa Sentral Penanaman Jambu Mete di Indonesia
Propinsi | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 |
Nusa Tenggara Timur | 132.416 | 145.878 | 146.362 | 146.153 | 144.843 | 160.451 | 166.954 |
Sulawesi Tenggara | 125.360 | 116.319 | 120.550 | 118.682 | 120.679 | 121.679 | 127.438 |
Sulawesi Selatan | 73.906 | 76.706 | 79.753 | 79.596 | 68.644 | 68.801 | 74.461 |
Nusa Tenggara Barat | 53.321 | 54.985 | 55.440 | 58.518 | 59.683 | 61.173 | 62.889 |
Jawa Timur | 56.813 | 57.192 | 57.445 | 57.445 | 57.827 | 52.996 | 47.657 |
Jawa Tengah | 32.896 | 31.706 | 30.271 | 29.397 | 28.734 | 28.435 | 30.551 |
Catatan : angka tahun 2006 merupakan angka sementara.
(Sumber :Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2006).
Seperti terlihat pada tabel diatas, pertumbuhan areal tanam jambu mete mengalami fluktuasi yang tidak pasti, hal ini dimungkinkan karena kurangnya sosialisasi dan pemasaran hasil jambu mete sehingga menyebabkan para petani lebih memilih komoditi lain yang memiliki pasar yang sudah ada.
Seiring dengan penambahan areal tanam, jumlah produksi jambu mete juga mengalami peningkatan. Namun peningkatan jumlah produksi tersebut tidak diiringi dengan pengolahan pasca panen yang kurang memadai sehingga hasil panen jambu mete Indonesia masih sebagian besar diekspor dalam bentuk produk primer atau gelondong dengan kadar air 15 – 25 % ( 94,44 % ) dan hanya mampu mengekspor produk jambu mete yang telah berupa kacang mete sebesar 5,56 % ke pasar Internasional. Ekspor biji jambu mete / gelondong mete Indonesia sebagian besar ditujukan ke India ( 96,6%), untuk diolah kembali menjadi kacang mete dan kemudian baru dijual kembali ke konsumen Amerika dan Eropa dalam bentuk kacang mete siap olah. ( Daras, 2007 )
Produksi kacang mete Indonesia tidak disertai dengan pengolahan jambu mete dalam negeri, terbukti dengan masihnya Indonesia mengimpor sekitar 15 ribu kg/tahun kacang mete siap olah dari India, hal ini membuktikan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara penghasil biji jambu mete dunia ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. ( Rinrin, 2008 )
Penambahan jumlah lahan tanam saat ini kian diperlukan seiring dengan peningkatan jumlah permintaan akan kacang mete serta adanya permintaan akan buah jambu mete dan cairan kulit biji jambu mete ( Cashew Nut shell liquid / CNSL ). CNSL adalah cairan yang dikandung dalam kulit biji mete dan jumlahnya sekitar 15 % dari bobot biji mete. Cairan tersebut mengandung tannin, anacardic acid dan cardol yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri atau antiseptic sehingga banyak digunakan dalam industri obat-obatan. CNSL juga termasuk kedalam golongan damar alam yang dapat menahan panas dengan temperature tinggi sehingga banyak digunakan dalam sistem pengereman dan industri Pembuatan cat. Biasanya CNSL dihasilkan pada saat proses pengeringan biji jambu mete dan sebagai suatu hasil sampingan CNSL memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Pasar CNSL saat ini banyak terdapat di Amerika Serikat, Negara Uni Eropa, Korea Selatan dan Jepang, sedangkan sekitar sembilan puluh persen dipenuhi oleh India dan Brasil. ( Mulyono, 2001 )
Langganan:
Postingan (Atom)